WARTA WEDDING - Sedemikian rumitnya tatanan busana terkait adat-tradisi serta sopan satun kalangan keraton, hal itu pula yang melatari pemakaian kain batik sebagai busana kebesaran warga keraton. Harus mentaati segala peraturan yang berlaku.
Wanita-misalnya haruslah memakai kain batik yang menutupi mata kaki. Bila saat ini, kebanyakan wanita tak menggunakan apa yang ‘pakem’ digunakan di kalangan keraton, diartikan wanita tersebut tidak paham adat, serta tidak sopan.
Bagaimana caranya? Pakai lembaran kain batik dimulai dari ujungnya masuk ke sebelah kiri pinggang sang wanita, dan ujung kain batik lainnya melingkari tubuh kea rah kanan. Sehingga ujung kain batik yang diwiru (lipat bertumpuk) itu berada paling atas dan arah kanan pinggang si wanita.
Lain lagi dengan pemakaian kain batuk untuk pria. Dimulai dengan memasukkan ujung batik ke bagian kanan pinggan, lalu ditutupi kain batik yang melingkari pinggang dan memutar ke kanan, lalu ke kiri. Sehingga ujung kain batik yang diwiru berada di tengah menghadap ke kiri. Sementara bagian atas pada pinggang atas diikat dengan ikat pinggang atau epek (ada yang menggunakan tali raffia) ditimpa kain pengikat pinggang yang panjang.
Bagian ini nantinya tertutup oleh kain peting yakni kain ikat pinggang yang panjang yang terbuat dari kain beludru bermotif kembang-kembang. Kemudian barulah ditutup oleh baju kebaya-untuk wanita atau beskap untuk pria. Dengan menggunakan busana jawi lengkap termasuk sebilah keris yang diselipkan di lipatan ikat pinggang dengan kepala ditutup blangkon.
Wanitanya dalam panutan busana batik dengan kain kebaya membentuk potongan tubuh (siluet) yang indah.
Hal diatas adalah tatanan berbusana dalam upacara tradisional. Untuk perkawinan, khususnya diluar keraton, kemeja batik atau gaun batik dengan perbagai corak motif dan warnanya sudah merupakan busana resmi. Adalah sebuah keanggunan dan kebanggaan nasional Indonesia memiliki khasanah batik. (jek/*dwc)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar