WARTA WEDDING - Tatanan adat istiadat terkadang harus mengalami imbas dari kepentingan manusia. Contohnya adalah paes dan prada instantyang kini banyak dipasarkan para pelaku industri guna keperluan pengantin wanita Yogyakarta.
Menyikapi hal ini, master kecantikan pengantin wanita Yogyakarta, Tinuk Rifki mengungkapkan ketidaksetujuannya, karena itu merusak pakem atau tatanan asli yang berasal dari keraton ‘ndalem Ngayogyakarta Hadiningrat.
“Kurang setuju. Dahi setiap orang itu kan berbeda, memerlukan keahlian seni mengukir dahi yang memperhitungkan lebar dahi dengan volume paes,” terang Tinuk Rifki usai press conference dalam acara Martha Tilaar Beautifying Indonesia di Jakarta Convention Center, seperti dilansir dari dunia wedding.com.
Selain menyalahi pakem yang sudah diciptakan para abdi dalam, kerabat, keluarga, serta leluhur keraton, paes dan prada tiruan yang kini mewabah di pasaran merusak kebudayaan. “Paes dan prada tiruan itu berupa tempelan yang kiranya kurang memperhitungkan ukuran dahi pengantin wanita,” tambah Tinuk.
Sementara dahi pengantin wanita itu dalam kamus merias Yogyakarta itu perlu diluweskan. Bagaimana cara meluweskan, melalui teknik mengukir dahi menggunakan tangan si perias.
Meski begitu, Tinuk menyadari kehadiran paes dan prada menjawab kebutuhan calon pengantin dengan budget minim namun ingin tampil bak putri kraton. Seperti ditelusuri oleh DuniaWedding, perbandingan merias pengantin Yogya menggunakan paes dan prada asli dengan tiruan, satu banding dua (1:2). (red/*dwc)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar